Istihsan dan Istishab: Menggali Kedalaman dalam Fiqih dengan Gaya Santai

Posted on

Masih ingat pelajaran fiqih yang kita pelajari di masa sekolah dulu? Ya, hal-hal mengenai hukum Islam dan legalitasnya. Bagi sebagian dari kita, topik ini mungkin terdengar membosankan dan kepada pemahaman kita saat ini mungkin sebatas “itu wajib, itu haram”. Namun, siapa sangka ada konsep menarik dalam fiqih yang bernada santai saat dijelaskan? Ini dia istihsan dan istishab, dua prinsip penting yang kita bahas dalam artikel ini!

Mari kita mulai dengan istihsan. Istihsan memiliki arti melegalkan suatu hukum berdasarkan pertimbangan yang masuk akal dan adil, meskipun secara harfiah tidak berdasarkan dalil yang jelas. Bayangkan kita sedang berdiskusi dengan ulama atau teman kita tentang suatu permasalahan hukum yang sulit dipahami. Nah, saat penjelasan mereka berdasarkan logika yang masuk akal dan adil, itulah istihsan!

Lalu ada istishab. Istishab adalah pendapat yang mempertahankan keberadaan suatu hukum sampai adanya dalil yang jelas untuk mengubahnya. Prinsip ini menyampaikan gagasan bahwa apabila hukum suatu peristiwa tidak ada perubahan berarti, maka keadaan tersebut tetap dianggap legal. Misalnya, dalam hal kehalalan makanan, jika zaman kita saat ini makanan tersebut masih boleh dikonsumsi, maka istishab menyatakan bahwa makanan tersebut masih halal sampai ada dalil yang jelas yang menyatakan sebaliknya.

Keduanya, istihsan dan istishab, memungkinkan kita untuk melihat fiqih bukan sebagai sesuatu yang kaku dan terbatas, tetapi sebagai sesuatu yang beradaptasi dengan perkembangan zaman. Menarik, bukan?

Dalam konteks yang lebih santai, kita dapat mengibaratkan istihsan sebagai trobosan “out of the box” dalam pemahaman hukum Islam. Istihsan adalah momen ketika kita memutuskan untuk bertindak tidak hanya berdasarkan aturan yang ada, tetapi juga mempertimbangkan niat baik, keadilan, dan masalah praktis terkait peristiwa yang sedang dibahas. Ini seperti saat kita memilih mengendarai sepeda ke tempat tujuan daripada menggunakan kendaraan lainnya karena jalanan macet. Kita mencari alternatif yang masuk akal dan adil.

Sebaliknya, istishab dapat dianggap sebagai “jalan aman” dalam menafsirkan hukum Islam. Ini adalah momen ketika kita mempertahankan suatu keadaan (seperti keberadaan hukum saat ini) sampai ada bukti yang meyakinkan yang mengatakan sebaliknya. Misalnya, kamu tahu bahwa popok bayi yang kamu gunakan aman dan berkualitas, jadi tidak masalah untuk terus menggunakannya sampai kamu menemukan informasi baru yang menyebutkan sebaliknya.

Jadi, istihsan dan istishab adalah dua prinsip yang memberi kita ruang untuk berpikir dan berkembang dalam memahami hukum Islam. Mereka mengajarkan kita bahwa tidak semua hal harus dikebiri, tetapi juga tidak harus terlalu longgar. Kita dapat menghormati niat baik, masalah praktis, dan konteks zaman saat ini, sambil mempertahankan keberadaan hukum yang sudah berlaku, sampai ada bukti yang meyakinkan yang mengatakan sebaliknya.

Jadi, apakah kamu tertarik untuk mengeksplorasi lebih jauh tentang istihsan dan istishab? Mari kita jadikan fiqih sebagai topik menarik yang membangkitkan semangat penasaran dan kreativitas kita dalam memahami hukum Islam. Siapa sangka, dalam tema yang terkadang terasa kaku, terdapat prinsip yang memberikan kebebasan berpikir dan ruang untuk menggali kedalaman hikmah?

Apa itu Istihsan dan Istishab?

Istihsan dan istishab adalah dua konsep hukum dalam fiqh, cabang hukum Islam yang membahas hal-hal terkait dengan fiqih (hukum Islam). Kedua konsep ini digunakan oleh para ulama dan fuqaha (ahli fiqih) dalam memandang masalah-masalah hukum yang tidak jelas atau ambigu.

Istihsan secara harfiah berarti ‘memilih’, ‘menghargai’, atau ‘lebih menyukai’, sedangkan istishab berarti ‘menetapkan’ atau ‘ketetapan’. Kedua konsep ini digunakan untuk membantu fuqaha dalam mengambil keputusan ketika terjadi ketidakpastian atau kontradiksi dalam nash (naskah hukum Islam).

Apa itu Istihsan?

Istihsan adalah konsep yang digunakan ketika hukum yang terdapat dalam nash atau dalil (al-Quran, hadis, ijma’, dan qiyas) bertentangan dengan nash lainnya atau hasil qiyas yang membingungkan. Istihsan dilakukan dengan memilih pendapat yang menurut fuqaha lebih baik atau lebih adil dari pada pendapat yang seharusnya diterapkan berdasarkan nash atau dalil yang ada.

Contoh Istihsan

Satu contoh penggunaan istihsan adalah dalam masalah riba. Riba secara harfiah berarti ‘bertambah’ atau ‘tumbuh’. Dalam hukum Islam, riba dilarang karena dianggap tidak adil dan merugikan salah satu pihak dalam transaksi. Namun, terdapat beberapa situasi di mana definisi riba dalam nash tidak jelas. Dalam hal ini, para fuqaha menggunakan istihsan untuk memilih pendapat yang paling adil berdasarkan konteks transaksi tersebut.

Apa itu Istishab?

Istishab adalah konsep yang digunakan ketika tidak ada nash yang menjelaskan suatu hukum atau ketentuan tertentu dan tidak ada perubahan dalam keadaan yang dapat mengubah hukum tersebut. Istishab mengasumsikan bahwa kondisi yang ada saat ini masih berlaku dan hukum yang telah berlaku sebelumnya juga masih berlaku hingga ada bukti yang meyakinkan bahwa hukum tersebut berubah.

Contoh Istishab

Satu contoh penggunaan istishab adalah dalam masalah thaharah (bersuci). Jika seseorang melakukan wudhu dan tidak ada kejadian atau perubahan yang dapat membatalkan wudhu, maka istishab berlaku dan wudhu tersebut masih dianggap sah sampai ada bukti yang meyakinkan bahwa wudhu telah batal.

Cara Istihsan

Ada beberapa langkah yang perlu diikuti dalam menggunakan istihsan:

1. Mengidentifikasi masalah hukum yang tidak jelas

Pertama-tama, fuqaha perlu mengidentifikasi masalah hukum yang tidak jelas atau kontroversial. Ini bisa terjadi jika terdapat ketidaksesuaian dalam nash atau jika hasil qiyas tidak memberikan jawaban yang pasti.

2. Menganalisis argumen dan nash yang ada

Setelah masalah hukum diidentifikasi, langkah selanjutnya adalah menganalisis argumen dan nash yang ada. Fuqaha harus memahami nash yang relevan, dalil-dalil yang digunakan dalam debat hukum, dan pendapat para fuqaha sebelumnya.

3. Menilai berbagai pendapat

Setelah menganalisis argumen dan nash yang ada, fuqaha perlu menilai berbagai pendapat yang ada. Mereka harus mempertimbangkan implikasi etika, keadilan, dan manfaat umum dari masing-masing pendapat tersebut.

4. Memilih pendapat yang lebih adil atau bermakna

Langkah terakhir dalam menggunakan istihsan adalah memilih pendapat yang menurut fuqaha adalah pendapat yang lebih adil atau bermakna. Pemilihan ini harus didasarkan pada penilaian mereka terhadap implikasi dan manfaat dari setiap pendapat yang ada.

Cara Istishab

Ada beberapa langkah yang perlu diikuti dalam menggunakan istishab:

1. Mengidentifikasi ketidakpastian hukum

Pertama-tama, fuqaha perlu mengidentifikasi ketidakpastian hukum dalam suatu masalah. Hal ini dapat terjadi jika tidak ada nash yang secara jelas mengatur masalah tersebut.

2. Menganalisis situasi dan keadaan yang ada

Setelah mengidentifikasi ketidakpastian hukum, langkah berikutnya adalah menganalisis situasi dan keadaan yang ada saat ini. Fuqaha harus memahami kondisi yang ada dan melihat apakah ada perubahan atau bukti yang dapat mengubah hukum yang telah berlaku sebelumnya.

3. Mempertahankan hukum yang telah berlaku

Jika tidak ada perubahan atau bukti yang meyakinkan bahwa hukum yang telah berlaku sebelumnya berubah, maka istishab akan mempertahankan hukum tersebut. Fuqaha akan menganggap hukum tersebut masih berlaku sampai ada bukti yang meyakinkan sebaliknya.

FAQ

1. Bagaimana cara menentukan pendapat yang lebih adil dalam istihsan?

Menentukan pendapat yang lebih adil dalam istihsan melibatkan analisis mendalam terhadap implikasi etika, keadilan, dan manfaat umum dari masing-masing pendapat yang ada. Para fuqaha harus mempertimbangkan nilai-nilai Islam yang mendasari hukum dan melihat mana pendapat yang lebih memenuhi tujuan keadilan dalam Islam.

2. Apa yang harus dilakukan jika terdapat perubahan dalam keadaan yang dapat mengubah hukum yang telah berlaku sebelumnya?

Jika terdapat perubahan dalam keadaan yang dapat mengubah hukum yang telah berlaku sebelumnya, para fuqaha perlu melakukan penelitian lebih lanjut dan membahasnya dalam forum hukum Islam. Mereka perlu mengumpulkan bukti atau argumen yang meyakinkan untuk mengubah atau mempertahankan hukum yang telah berlaku.

3. Apakah penggunaan istihsan dan istishab selalu benar dalam menentukan hukum Islam?

Penggunaan istihsan dan istishab tidak selalu benar dalam menentukan hukum Islam. Kedua konsep ini digunakan ketika tidak ada nash yang jelas atau ketika ada ketidakpastian. Namun, fuqaha harus tetap merujuk pada nash dan prinsip-prinsip dasar dalam hukum Islam untuk memastikan bahwa keputusan yang diambil sejalan dengan ajaran agama.

Kesimpulan

Dalam fiqh, istihsan dan istishab digunakan sebagai instrumen untuk menyelesaikan masalah hukum yang tidak jelas atau ambigu. Istihsan digunakan untuk memilih pendapat yang lebih baik atau lebih adil ketika terdapat kontradiksi dalam nash, sedangkan istishab digunakan untuk mempertahankan hukum yang telah berlaku jika tidak ada perubahan atau bukti yang mengubahnya.

Penggunaan istihsan dan istishab harus didasarkan pada pemahaman yang mendalam terhadap argumen dan nash yang ada. Juga, fuqaha harus mempertimbangkan implikasi etika, keadilan, dan manfaat umum dari setiap pendapat yang ada. Meskipun berguna dalam menyelesaikan ketidakpastian, penggunaan istihsan dan istishab tetap harus berlandaskan pada nash dan prinsip-prinsip dasar dalam hukum Islam.

Dalam melihat masalah hukum yang tidak jelas, penting bagi kaum Muslim untuk memahami dan mengaplikasikan konsep istihsan dan istishab dengan benar. Dengan pemahaman yang baik tentang kedua konsep ini, kita dapat memecahkan masalah hukum yang rumit dan menjaga keadilan dalam menerapkan hukum Islam.

Halim
Mengajar dengan cinta dan menulis puisi. Dari memberikan kasih sayang kepada siswa hingga mengekspresikan perasaan dalam kata-kata, aku menciptakan kebahagiaan dan seni dalam tulisan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *