Meski awalnya dianggap sebagai Film yang akan memberikan dampak buruk , namun akhirnya film ini membuktikan kualitasnya. Dok : Starvision

Review Film Dua Garis Biru : Kebebasan Juga Adalah Penjara. Setiap Pilihan Tidak Bebas Dari Konsekuensi

Posted on
DUA GARIS BIRU
Genre : Drama, Keluarga
Actors : Dwi Sasono, Cut Mini, Angga Yunanda, Zara JKT48, Lulu Tobing, Arswendy Bening Swara
Director : Gina S. Noer
Release Date : 11 July 2019

*Spoiler Alert
Artikel ini akan berisi sedikit bocoran tentang apa yang terjadi dalam film ini.

Film remaja garapan Starvision Plus, Dua Garis Biru telah menghiasi layar bioskop diseluruh Indonesia sejak tanggal 11 Juli 2019.

Meski awalnya dianggap sebagai Film yang akan memberikan dampak buruk , namun akhirnya film ini membuktikan kualitasnya. Dok : Starvision

Meskipun pada awal kemunculan teaser-nya, film ini banyak mengundang pro dan kontra karena tema yang diangkat adalah isu yang sangat tabu diperbincangkan yaitu, tentang sex bebas dan pernikahan dini.

Pihak yang kontra beranggapan bahwa film ini dikhawatirkan menjadi contoh bagi para remeja untuk melakukan hal-hal yang diluar batas.

Namun bagi pihak yang pro, film ini diharapkan bisa menjadi contoh sekaligus peringatan agar remaja Indonesia tidak melakukan hal-hal diluar batas yang dapat merugikan masa depan diri sendiri.

Diluar dari pro dan kontra yang telah terjadi, nyatanya film Dua Garis Biru mendapatkan sambutan hangat dari masyarakat Indonesia. Terbukti dengan jumlah penonton yang didapat hingga saat ini telah mencapai 2.240.415 penonton.

Sumber FilmIndonesia.or.id

Film garapan Sutradara Gina S. Noer ini menceritakan tentang kisah percintaan Dara (Zara JKT48) dan Bima (Angga Yunanda) yang masih duduk dibangku Sekolah Menengah Atas, namun mereka berani melanggar batas sepasang kekasih tanpa tahu konsekuensi yang akan dihadapinya kelak.

Bukan hanya membahas tentang dua insan yang sedang dimabuk asmara, film ini juga menceritakan tentang perjuangan Dara dan Bima dalam menjalani kehidupan mereka setelah kesalahan fatal mereka diketahui oleh keluarga dan pihak sekolah. Siapkah mereka melawan dan bertahan atas pilihan mereka menjadi orang tua diusia yang masih belia ?

Pemilihan Judul “Dua Garis Biru”

Pemilihan judul memang menjadi komponen penting dalam film yang dapat mempengaruhi minat dan daya tarik calon penonton film. Sehingga sudah sangat jelas bahwa pemilihan judul tidak bisa dilakukan dengan sembarangan dan harus dengan pertimbangan yang matang.

Mungkin pada awalnya judul ini sedikit memberikan kebingungan, karena seperti yang kita ketahui bahwa garis pada test pack bukanlah biru melainkan pink.

Namun hal itu sepertinya memang dibuat untuk menarik keingintahuan calon penonton agar mencari jawabannya dengan menonton filmnya. Dan benar saja, jawaban itu hadir dalam scane dimana Bima, Dara beserta keluarga pergi ke Dokter Kandungan untuk melakukan USG.

Saat diketahui jenis kelaminnya laki-laki membuat Bima sedikit terkejut. Karena ia berpikir bahwa calon bayinya adalah perempuan, sesuai dengan warna garis pada test pack. Jadi Bima mengira jenis kelamin bayi ditentukan oleh warna test pack guuyyss hahaha

Jalan Cerita Yang Tidak Bertele-tele.

Dari menit awal film ini sudah memberikan kesan yang benar-benar padat, meskipun ini adalah debut pertama Gina menjadi Sutradara, namun sebelumnya Gina juga telah memperlihatkan kesuksesannya sebagai seorang penulis naskah Ayat-ayat Cinta (2008), Hari Untuk Amanda (2010), Posesif (2017), Kulari ke Pantai (2018), dan Keluarga Cemara (2018).

Film ini memang tidak banyak menampilkan dialog untuk penyampaian sebuah pesan kepada penontonnya, karena memang yang ingin disampaikan dalam film ini adalah hal-hal yang sangat dekat dekat dengan kehidupan kita.

Seperti adegan saat Bima menantap ondel-ondel dengan mata yang penuh kekhawatiran dan ketakutan karena ia mengetahui bahwa Dara hamil.

Bahkan benda mati pun seolah dibuat “berbicara” dalam film ini, saat Dara menaruh buah Strawberry diatas perutnya saat awal-awal ia mengetahui kehamilannya.

Selain itu film ini juga mampu menampilkan sisi komedi yang tidak berlebihan. Seperti saat Dewi (Rachel Amanda) kakak Bima sedang memarahi Bima. Karena, akibat dari perbuatan adiknya itu menyebabkan pernikahan yang telah ia rencanakan menjadi gagal.

Cara penyampaian kemarahan dan ekspresi yang Dewi tunjukan pun mampu menggambarkan tentang sebuah rasa kekecewaan, marah namun masih terlihat begitu peduli dengan adiknya.

Karakter Yang Kuat Dari Setiap Karakter.

Seperti Naskahnya, karakter dalam film ini pun dibuat begitu padat dan akting yang maksimal, termasuk para pemain figuran.

Contohnya, tentang keadaan para tetangga Bima yang banyak mengeluhkan tentang keadaan sehari-hari dalam kehidupan pernikahan, hal itu seolah mengambarkan tentang keadaan berumah tangga yang sering terjadi dalam masyarakat.

Sekaligus sebagai gambaran untuk para remaja bahwa pernikahan tidak melulu tentang kebahagian atau kebersamaan dengan orang yang kita cintai.

Atau saat Asri Welas dengan keunikan dan ciri khasnya dalam mengekspresikan rasa terkejutannya saat mengetahui bahwa Dara telah hamil, karena pada awalnya ia mengira yang hamil adalah ibu Bima.

Akting Zara dan Angga pun perlu diacungi jempol, karena mereka mampu menyampaikan pesan film ini melalui akting dan ekspresi mereka yang begitu natural.

Kemampuan akting pemain senior pun tak perlu diragukan lagi. Hadirnya Dwi Sasono, Cut Mini, Lulu Tobing dan Arswendy Bening Swara mampu menambah keseruan dalam film ini.

Isu-isu Yang Diangkat.

Selain mengangkat isu tentang pergaulan bebas dan pernikahan dini, sepertinya Gina juga menyisipkan tentang isu tentang ketimpangan gender yang sudah lama ada dalam masyarakat ini. Khususnya dalam lingkungan sekolah.

Dimana Dara dikeluarkan dari sekolah saat diketahui telah hamil. Hal ini sangat sesuai dengan kenyataan pada kehidupan nyata bahwa sekolah di Indonesia memang memiliki peraturan yang sama. Hal ini dilakukan atas nama moral dan untuk menjaga kondisi psikis siswa yang bersangkutan.

Sementara sanksi yang sama tidak berlaku pada Bima, lelaki yang telah menghamili Dara. Dikarenakan pihak sekolah beranggapan bahwa Bima sebagai laki-laki akan menjadi tulang punggung keluarga.

Bagaimana bisa seorang kepala rumah tangga mampu menghidupi keluarganya kelak jika tidak sekolah dan memiliki pekerjaan yang layak.

Pun disaat scane dimana Bima dan Dara sedang bertengkar, Bima mengatakan bahwa posisi Dara jauh lebih beruntung dibanding Bima. Karena Bima merasa harus bekerja lebih keras demi Dara dan calon anaknya sedangkan Dara bisa berdiam diri dirumah.

Tapi disisi lain , ada scane yang menunjukan saat Dara sedang merasa sedih dan jenuh. Karena harus dirumah, dan tidak bisa merasakan kebebasan seperti sebelumnya. Serta memiliki ketakutan tidak bisa menggapai mimpinya untuk kuliah di Korea.

Menonton Film Ini Seperti Mendapatkan Sebuah Kaca.

Cerita keselurahan dalam ini seolah menjadi kaca untuk banyak orang. Entah untuk para orang tua yang merasa gagal dalam mendidik anak mereka, sebagai anak yang merasa bersalah karena telah mengecewakan orang tuanya, dan masih banyak lagi.

Mungkin lewat film ini kita juga bisa belajar tentang memaafkan diri sendiri ataupun orang lain. Berkaca dengan kesalahan yang telah diperbuat, bukan malah menyalahkan orang lain atau keadaan sekitar.

Dan film ini pun seakan mengajarkan bahwa setiap kesalahan dalam hidup masih bisa diperbaiki asalkan kita terus berusaha yang terbaik.

Pernah berbuat salah bukan berarti harus menyerah begitu saja pada keadaan. Selama mau bergerak pasti kita akan menemukan jalan.

**
Jadi bagaimana Guys? menarik bukan. Terlepas dari segala kontroversi tentang film ini, tapi menurut saya pribadi film ini memiliki pesan moral yang sangat bagus.

Baik dan buruknya sesuatu tergantung dari sudut mana kita mencoba untuk melihat. Karena sebaik apapun jika kita melihatnya dari sudut yang negatif maka hasilnya akan negatif, pun sebaliknya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *