Saya termasuk orang yang percaya bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini merupakan sesuatu yang saling berhubungan. Tidak ada yang namanya kebetulan. Sebab setiap peristiwa yang kita hadapi merupakan mozaik-mozaik ataupun puzzle-puzzle yang apabila kita mampu merangkainnya dan bagiannya sudah utuh semua, maka akan menghasilkan sebuah karya yang hebat dan luar biasa.
Masalahnya, kadang kita gak sadar dan kurang ngeh terhadap berbagaimacam peristiwa yang terjadi di hidup kita. Kita juga kadang engga peka dengan cara Tuhan mengirimkan bemacam-macam kejadian yang menimpa di hidup kita. Padahal kalo mau dipikir-pikir, apapun kejadian yang menimpa kita sudah diukur dengan sangat presisi oleh Tuhan. Dan saya yakin pasti ada hikmah serta pembelajaran yang bisa kita ambil dibaliknya.
Saya sangat sepakat dan sependapat dengan Steve Jobs, orang yang pertama kali mengemukan teori connecting the dots. Bagiamana tidak, soalnya jika kita mau tarik mundur beberapa kejadian yang ada di hidup kita beberapa tahun ke belakang. Bisa dipastikan kalo bakal ada relasinya dengan apa yang menimpa atau sedang kita jalani saat ini. Gak percaya? Mari kita simak kisah orang yang mengemukakan teori connecting the dots ini.
Suatu ketika, Steve Jobs diundang untuk memberikan kata sambutan di acara wisuda Stanford University, salah universitas terbaik yang ada di Amerika. Ada tiga pesan penting yang disampaikan Steve Jobs pada kesempatan itu. Salah satunya adalah tentang “Connecting the Dots”. Atau bahasa kitanya saling menghubungkan titik demi titik.
Ibu kandung Steve Jobs, Joanne Simpson adalah seorang mahasiswi yang masih kuliah. Dia ‘kecelakaan’ karena hamil di luar nikah sewaktu masih mahasiswi dan juga tanpa dinikahi. Sebelum melahirkan, Joanne Simpson memutuskan untuk meyerahkan anak yang akan dilahirkannya itu kepada orang lain. Sang Ibu ingin Steve Jobs dirawat oleh orang yang lulusan universitas agar nantinya bisa di kuliahkan di universitas ternama juga.
Akhirnya, ada seorang pengacara dan istrinya yang mau mengadopsi Steve Jobs Kecil. Mereka adalah Paul dan Clara Jobs. Menjelang detik-detik melahirkan, Paul dan Clara Jobs menelepon kalau mereka ingin bayi perempuan, tapi ternyata Joanne Simpson melahirkan bayi laki-laki. Ibu Steve Jobs sempat cemas dan khawatir kalau mereka tidak jadi mengadopsi. Tapi untungnya, mereka tetap mau menerima.
Beberapa waktu setelah melahirkan, sebelum tanda tangan kertas penyerahan adopsi, Ibu Steve Jobs mengetahui kalau Paul dan Clara Jobs ternyata berbohong. Pauls tidak tamat SMA dan istrinya bukanlah tamatan universitas ternama. Joanne Simpson menolak tanda tangan kertasnya. Tapi, kemudian sang ibu berubah pikiran setelah Paul dan Clara Jobs meyakinkan kalo Steve Jobs bakal dikuliahkan setelah besar nanti. Sebab cita-cita Ibu kandung Steve Jobs ingin sekali anaknya dikuliahkan dan lulus dari universitas ternama di Amerika.
Singkat cerita, 17 tahun setelahnya Steve Jobs dikuliahkan disebuah universitas yang mahal sekali, yaitu Reed Collage. Padahal, orang tuanya angkatnya itu bukanlah dari golongan kelas atas. Pauls hanyalah bekerja sebagai montir dan Clara Jobs hanya sebagai tenaga pembukuan. Pada saat kuliah, ternyata Steve tidak tahu apa yang harus ia kerjakan. Semua mata kuliah yang diambilnya tidak terasa berguna baginya. Steve masuk di satu mata kuliah, lalu keluar. Masuk lagi di mata kuliah lainnya, keluar lagi.
Steve menyadari kalau orang tua angkatnya itu harus menabung banyak agar bisa membiayai kuliahnya di Reed Collage. Namun saat itu dia enggak melihat kegunaan dari kuliah yang diambilnya untuk tujuan hidupnya. Ditambah lagi, dia sendiri tidak tahu jelas apa tujuan hidupnya. Setelah ia kuliah selama enam bulan, akhirnya dia memilih untuk keluar sekolah.
Dia memutuskan untuk drop out dari kuliah karena Steve engga melihat adanya nilai yang berharga dengan duduk di bangku sekolah. Sejak itu, hidupnya mulai susah. Dia tidak punya kosant, dan tidur dilantai kamar temannya. Dia mengumpulkan botol coca-cola, kemudian dijual, dan hasilnya untuk membeli makanan.
Setiap minggu malam, Steve harus berjalan selama 7 mil ke sebuah kuil. Kenapa ia pergi kesana? Sebab disana selalu tersaji hidangan makan besar. Sehingga dJobs berpikir kalodengan cara pergi kesana dapat menekan pengeluaran mingguannya.
Saat itu Steve masih tinggal disekitar kampusnya. Dan perlu diketahui, Reed Collage sangat terkenal dengan seni Kaligrafi, salah satu terbaik di Amerika. Steve sebenernya engga bisa lagi mengambil mata kuliah karena sudah drop out. Tapi karena kegigihannya untuk minta duduk di bangku kuliah, akhirnya dia masih bisa berkesempatan untuk mengambil satu mata kuliah, yaitu mata kuliah kaligrafi selama tiga semester.
Di kelas Kaligrafi, dia belajar tentang kombinasi warna, tekstur, pemandangan dan lain-lain yang menurutnya menakjubkan. Dari kelas Kaligrafi ini juga, ketertarikan Steve terhadap font menjadi luar biasa. Dia mulai mengenal sejarah font seperti serif dan san-serif. Memang sih, apa yang ia pelajari tidak ada yang applicable untuk kehidupannya waktu itu. Tapi 10 tahun kemudian, baru dia rasakan manfaatnya dari apa yang ia pelajari sewaktu masih kuliah.
Saat dia mendesain komputer Mac pertama kalinya, semua hal yang dipelajari Steve saat duduk di kelas Kaligrafi muncul. Dia pun mengkombinasikannya ke dalam komputer Mac. Hasilnya apa? Steve berhasil membuat Mac menjadi komputer pertama yang memiliki tipografi yang sangat indah.
Dia bilang,“Kalau saya tidak pernah drop out, saya tidak akan berakhir di kelas Kaligrafi. Jika saya tidak belajar seni kaligrafi, Mac tidak akan pernah ada.”
Semua hal yang dilakukan Steve itu membentuk titik-titik. Titik-tik inilah yang nanti akan bertemu dan membentuk masa depan. Dan hal inilah yang disebut oleh Steve Jobs sebagai connecting the dots.
Pelajaran penting yang bisa kita ambil dari kisah Steve Jobs tersebut adalah bahwa tidak ada kejadian sekecil apapun yang harus kita sesalkan di masa lalu. Kenapa? Sebab semuanya akan saling terhubung dan membentuk sebuah mozaik atau puzzle masa depan kita.
Seorang mahasiswa mungkin mengeluh, “Untuk apa sih saya harus belajar capek-capek mata kuliah ini? Wong sekarang semuanya udah pake software?”. Atau mungkin seorang pebisnis pemula berkata “Ah saya bisnis rugi terus. Rasanya maua benting stir aja deh!”. Dan mungkin masih banyak keluhan-keluahan lainnya.
Untuk saat ini mungkin kejadian-kejadian itu seolah menyiksa kita dan berpikiran ‘kok hidup gini-gini amat ya’. Bahkan mungkin sebagian yang berpikiran ekstrim menganggap bahwa Tuhan udah engga sayang lagi sama dia. Tapi percayalah, jika kita mampu menghubungkan dots-dots tersebut dengan baik. Suatu saat kita akan menjadi orang yang paling bersyukur atas semua kejadian yang menimpa kita di masa lalu.
Terakhir, saya kutip sebuah quotes yag sangat menarik dan mentramkan hati saya. “Skenario yang dibuat oleh Tuhan itu akhirnya selalu happy ending. Jika saat ini realitanya belum sesuai ekspektasi, maka yakinlah memang ceritanya aja yang belum selesai”. Jadi, tetap semangat yaa. Doa saya hari ini, semoga kita semua menjadi pribadi yang pandai bersyukur atas segala kejadian yang menimpa kita, baik di masa lalu, saat ini, atapun masa yang akan datang :)). Aamiin.